Aku Freelancers
November 01, 2017
Menindaklanjuti tulisan
sahabat saya sesama pekerja freelance ihdinasabili11.blogspot.com yang berjudul
Balada Pekerja Freelance. Ulasannya tentang freelance kali ini seperti oase di
tengah gula pasir eh gurun pasir. Sudah lama saya ingin melepaskan unek-unek
stigma orang terlebih orangtua yang mendengar seorang anak muda ketika ditanya,
“Kerja
dimana?”
“Oh
anu, saya freelance”
Saya
yakin Sembilan puluh persen mereka pasti akan mengernyitkan dahi terlebih
dahulu mereka akan penasaran bertanya freelance apa? Atau bahkan ada sebagian
orang tua yang awwam mendengar kata freelance sehingga mau enggak mau kita akan
menarik nafas dulu kemudian menjelaskan tentang pengertian freelance kemudian
apa yang biasa kita lakukan, hingga pada akhirnya sampailah pada kesimpulan para pekerja freelance ini dianggap
pertama tidak bekerja, kedua belum mapan, ketiga madesu (masa depan suram).
Begini,
sebagai pribumi yang baik saya akan mengartikan freelance ke dalam Bahasa Indonesia
yang baik dan benar yaitu pekerja lepas. Saya tidak akan menjelaskan pengertian
pekerja lepas karena sudah dijelaskan oleh sahabat saya di alamat website yang
sudah saya tulis diatas. Di sini saya akan lebih menceritakan lika liku kehidupan
pekerja lepas yang sering dan banyak dipandang sebelah mata, dianggap remeh
temeh. Seorang pekerja lepas yang tidak memilki kantor tetap dan penghasilan
tetap. Semua memang serba tidak jelas kalau dilihat dari kasat mata.
Saya
seorang freelancer yang fokus pada dunia kreatifitas. Menulis sesekali menjelma
jadi editor, pemilik katering yang saya atur sendiri kapan siap open order dan pendongeng.
Membagi waktu dimana saya harus berapa lama di depan laptop, kadang diselingi
mengisi undangan mendongeng atau bahkan full di dapur adalah suatu tantangan
tersendiri karena saya tidak memiliki bos. Mau enggak mau saya lah yang harus
tegas memenejemen diri saya sendiri. Mulai dari mengatur waktu dan lebih
beratnya lagi adalah mengatur mood.
Mood
adalah modal utama bagi pekerja seni untuk bisa menghasilkan suatu karya bernilai,
jujur aja ini enggak mudah lho bagi kita. Dibutuhkan konsentrasi yang tinggi
untuk bisa bekerja dan menyelesaikan pekerjaan. Karena kita juga harus menjaga
hubungan dengan para client agar tetap dipercaya, agar tetap professional dalam
ikatan kontrak kerja sesuai dengan tenggat waktunya, berusaha untuk tetap
menjaga kualitas kita bahkan di sela-sela padatnya pekerjaan kami juga
mewajibkan diri untuk belajar meningkatkan kualitas. Tidak ada yang menyuruh,
semua kendali ada pada diri kita sendiri. Ini tentang bagaimana kita bisa
memimpin diri kita sendiri.
Pekerja
lepas seperti kami juga tidak kenal jam kerja lho, bahkan kami bisa lebih sibuk
dari pada pekerja kantoran. Mereka kebanyakan bekerja delapan sampai sembilan
jam sehari, kami bisa lebih dari itu. Pekerjaan tak pernah ada habisnya, libur
adalah mitos bagi kami. Ketika para pekerja kantoran memiliki jatah kerja
lembur, bagi kami sih lembur sudah biasa tanpa ada yang menyuruh. Lembur adalah
keniscayaan bagi pekerja lepas, tanpa iming-iming honor tambahan.
Tapi jangan salah para freelancer
seperti kami penghasilannya bisa jauh lebih banyak dari pekerja tetap atau
kantoran. Semua tergantung dari kerja keras, upaya memenejemen waktu dan skala
prioritas. Meskipun kalau dilihat kasat
mata kelihatannya pengangguran kan? Enggak jelas. Kadang sering pindah dari
satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya, ke café satu ke café lainnya demi
mendapat ketenangan sekaligus menghilangkan kejenuhan.
Mood
adalah modal bagi kami, apalagi usia-usia kepala dua adalah usia yang masih
labil, proses pencarian jati diri. Tak jarang kami sering terusik dengan
kejadian-kejadian di sekitar kita yang menganggu mood. Apalagi freelancer
perempuan yang memiliki masa-masa pra menstruasi, ini sangat menganggu. Belum lagi
kalau di PHPin sama doi atau patah hati misalkan, haiiissh ini sangat menganggu
dan saya pernah mengalami itu. Sering terjadi perang batin, antara menuruti
mood yang lagi bad, bisa aja sih kita milih enggak ngerjain dulu, masa bodoh
sama deadline, enggak dapet duit juga nggak apa-apa tapi yang jelas kepercayaan
client itu harganya sangat mahal dan tak ternilai harganya, yaa, kita dituntut professional
dalam keadaan apapun. Mereka (client) tentu tidak akan peduli entah itu kamu
lagi badmood, ada masalah, kena musibah, mereka akan menagih pekerjaan sesuai
perjanjian awal.
Yaa,
semua itu butuh perjuangan karena sekali lagi kami adalah pekerja seni. Ide
kami mahal, kami bekerja bukan menganut standart operasional perusahaan,
melainkan menciptakan ide sendiri (mengotak-atik pikiran, memilah-milah
sendiri, eh ini bagus enggak ya. Aah jelek. Hapus-hapus, buat lagi) lalu mewujudkan
menjadi suatu karya seni yang membuat client merasa tidak kecewa dan senang
dengan hasil karya kita.
Maka
sebetulnya saya selalu tidak terima jika freelancer dianggap tidak bekerja,
dianggap tidak mapan karena tidak punya penghasilan tetap. Ada masa memang
dompet kita tebal, ada masa dimana hari itu uang tinggal lima ribu namun ada
sisi kenikmatan sendiri ketika uang tinggal lima ribu bahwa hari itu kita bisa
merasakan kedekatan kita dengan Tuhan. Kita bisa merasa menjadi hamba yang
benar-benar begitu lemah dan enggak bisa apa-apa tanpa pertolongan dan rejeki
dariNya.
“Duuh
Ya Allaaaaah duit tinggal lima ribu, bensin mau habis, mana perut laper lagi Ya
Allah gimana ini, minta uang dong ya Allah”
Tiba-tiba
ponsel bergetar
“Eh nanti jam 3 sore minta tolong ngisi
kelas menulis ya”
“Eh, duit proyek udah cair nih,
minta no rekening ya”
"Eh bulan depan minta tolong ngisi demo masak ya?"
"Mbak pesen ayam bakar dong 20 pack buat minggu depan"
Pekerjaan apapun semua itu pilihan dan saya bekerja karena kesukaan dengan itu tantangan sesulit apapun akan terasa nikmat.
Bagaimana anda tertarik menjadi freelancers? 😉
****
0 comments
Makasih sudah main, ambil yang baik-baik dari postingan ini, yang jelek tinggal ngopi aja..