Ketika Aku Sedang Sibuk Mencari Tuhan
Maret 09, 2018
Aku
lahir dari keluarga yang sangat berantakan, serba semrawut. Banyak kejadian
buruk yang terekam kuat dalam memoriku sejak kecil. Dari mulai pembullyan dari
pihak keluarga maupun di luar baik itu tetangga sekitar dan teman-teman
sekolah. Dan itu sempat membuat jiwaku tergoncang, mungkin lebih dari kata
depresi namun tidak seekstrim vonis gangguan jiwa.
Di
usiaku yang beranjak dua puluh tahun, obat tidur sudah menjadi teman baikku, aku
pun sempat mengkonsumsi obat penenang atau antipsikotik. Titik balik
kehidupanku adalah dimana aku harus diasingkan dari keramaian, hari-hariku
monoton, tidur, baca buku, menulis catatan harian dan minum obat. Waktu itu aku
merasa bahwa aku tidak gila. Tapi dokter pernah mengatakan bahwa aku sempat
delusi, sulit membedakan alam nyata dengan imajinasi. Aku tertawa dalam hati,
karena sejak kecil memang aku suka berimajinasi. Masak iya ini gangguan jiwa?
Tapi bagaimanapun juga dokter enggak bisa dilawan…kecuali lawannya sama Tuhan.
Sejak
saat itu aku belajar memaksakan diri untuk pasrah dengan keadaan. Namun
bagaimanapun juga jenuh selalu hinggap karena rutinitas yang itu-itu saja. maka
aku alihkan kejenuhan itu dengan menulis cerpen. Itu adalah kali pertama aku
menulis cerpen, biasanya hanya coretan-coretan galau di buku harian. Aku
membuang semua imajinasiku ke dalam cerita pendek, waktu itu aku nulisnya masih
pakai tulisan tangan, belum punya laptop. Namun semua itu tidak menjadi masalah
selagi bosanku terobati.
Nah, dari sinilah aku mulai jatuh
cinta dengan dunia sastra meski saat itu aku sudah menginjak semester dua
jurusan tata boga. Aku rasanya tidak
peduli akan hal itu, hampir semua buku-buku sastra ku lahap. Seperti Dunia
Sofie, buku-buku Pramodya Ananta Tur, Budi Darma, Dee, Ayu Utami. Tak puas
dengan semua itu, aku menggali biografi penulis-penulis favoritku. Salah satunya
adalah Buya Hamka. Ada semangat yang mulai menyala kembali ketika aku tahu
bahwa Buya Hamka juga Pramodya Ananta Tur terlahir dari background keluarga
yang berantakan, pernah mengalami pembullyan dan banyak penderitaan yang telah
dilaluinya. Aku tertegun, merasa tidak sendiri, aku merasa ada energi positif
yang tertular padaku ketika membaca jejak hidupnya.
Sejak saat itu aku berjanji kepada
diriku sendiri apapun yang terjadi padaku, sepahit apapun aku harus bertahan,
aku harus melawannya.
Di usiaku dimana masa-masa emas anak
muda sedang berjuang mengejar cita-cita. Sebaliknya, aku masih sibuk berkutat
dengan diriku sendiri, perang batin, berjuang berdamai dengan diri sendiri. Ketika
aku sudah lelah dan merasa tak mampu melawannya obat tidur selalu menjadi
solusi.
Aktivitas yang ku tekuni sebagai
anak tata boga juga penulis hanyalah pelarian semata. Menerima kontrak kerja
event demo masak salah satu majalah nasional, juga menerima kontrak event kelas
menulis salah satu perusahaan alat tulis. Semua itu ku jalani beriiringan. Aku tidak
merasa lelah menjalankan semua berbarengan karena itu jauh lebih baik daripada
dihantui bayang-bayang luka masa lalu. Jika diibaratkan film, potongan-potongan
adegan dalam hidupku yang sangat menyakitkan itu sering muncul, rasanya lebih
dari kata perih. Jika semua itu muncul perasaanku menjadi serba kacau. Maka menyibukkan
diri sesibuk-sibuknya adalah solusi untukku saat itu.
Aku tidak akan membiarkan pikiranku
kosong. Jika waktu luang ku habiskan untuk membaca buku, menulis naskah atau
membuat ide-ide resep masakan baru. Dan selama ini orang hanya melihatku dari
sisi luarnya saja. apa yang ku lakukan menjadi sosok yang menakjubkan. Padahal mereka
tidak tahu apa yang ku lakukan semua itu hanya pelarian belaka. Jiwaku masih
terombang-ambing dengan kesedihan masa lalu. Hidupku sangat hambar.
Namun ada hal yang sangat aku syukuri
hingga saat ini adalah ketika aku ingin mencari pelarian menjadi “nakal” selalu
gagal. Ketika resah datang, pikiran semrawut enggak karuan aku ingin sekali
mencicipi rokok dan alkohol yang katanya akan membuat tubuh kita melayang dan
lupa akan segalanya. Saat itu niatku
sudah tekad, aku pergi ke indomart dekat kos niat beli rokok dan alkohol lillahi
ta’ala. Tapi begitu sampai sana ujung-ujungnya aku membeli roti sobek dan kopi
sachet. Niat semacam itu sudah sering ku lakukan lebih dari sepuluh kali dan failed.
Entah mengapa ketika aku hendak
melakukannya ada sesuatu yang menarikku lalu berbisik halus “jangan”, seketika
penggalan-penggalan biografi Buya Hamka dan Pram yang menceritakan perjuangan
melawan luka hidupnya dengan kegiatan positif itu muncul dengan begitu jelas. Akhirnya
aku menyeduh kopi lalu menulis atau membaca buku. Dalam kondisi seperti itu aku
mampu melahap bacaan 600 halaman dalam hitungan jam, menulis satu cerpen atau
artikel dalam satu jam, atau membuat puisi hanya dalam hitungan menit.
Mencari
Guru Spiritual
Selain
coffe shop dan perpustakaan, tempat pelarianku adalah masjid. Meski tidak selalu
melakukan ibadah, hanya duduk termenung begitu saja sudah cukup membuatku lebih
baik. Ada beberapa masjid favoritku yang sangat nyaman sekali untuk menjadi
tempat berdiam diri. Melihat orang sholat, mengaji kadang membuatku iri. Betapa
bahagianya mereka yang berhasil menemukan Tuhan, betapa senangnya mereka bisa
dekat dengan Tuhan.
Aku pernah mengikuti suatu kelompok
ngaji, pernah berkali-kali mengikuti majelis ta’lim dari kelompok yang berbeda demi
mencari ketenangan tapi hatiku malah semakin resah tak karuan.
Ada banyak kejanggalan yang ku
alami. Sampai berganti-ganti guru namun tetap saja hambar malah kecewa yang ku
dapatkan. Pernah suatu kali sambil menunggu teman yang lain datang, aku membaca
novel. kemudian guruku menegur
“Ih…
kamu kok bacaannya gitu sih? itu tuuh yang bikin imanmu lemah. Saya aja enggak
pernah baca novel yang aneh-aneh, kecuali novel yang benar-benar islami.”
Ia
menegurku di depan teman-teman. Sejak itu ketika aku mengeluarkan pendapat atau
pertanyaan yang sifatnya ekstrim atau mungkin kelewat kritis, mereka dengan
mudah menjudge “Si ukhti ini bacaannya aneh-aneh sih makanya pikirannya jadi
terkontaminasi.”
“Wah
bisa bisa kena paham liberal” “ketika imannya lemah dia akan mudah meninggalkan jamaah ini,
naaudzubillah”
Sesungguhnya
aku mendengar semua desus itu namun selama ini aku hanya berpura-pura tidak tahu apa-apa. Apakah
salah jika aku sedang berupaya mencari Tuhanku sendiri, semua bacaan ku lahap,
semua yang ku anggap janggal tentang ilmu agama ku tanyakan. Aku sedang mencari
Tuhan, aku ingin mengenalnya dengan caraku… aku ingin menyembuhkan lukaku ini
dengan mendekat dengan Tuhan. Apa itu salah?
Resahku
semakin membuncah, aku sangat membutuhkan guru yang sebenar-benar guru. Bukan yang
mudah menjudge, bukan yang hanya ahli ceramah namun sikapnya tak bisa menjadi
cerminan. Aku tak bisa menemukan “klik” sampai aku bisa mengatakan naah ini nih
guru yang selama ini ku cari. Titik puncaknya ketika aku mengalami suatu kekecewaan
yang sangat berat, aku meninggalkan jamaah itu dengan penuh drama, namun
tekadku kuat. Aku sudah jengah dengan semuanya. Aku harus keluar.
Aku
selalu berdoa… Tuhan dimanakah Kau berada, betapa aku sangat ingin dekat
denganmu, aku rindu padaMu… aku mencariMu di kelompok ngaji hingga berpindah
dari satu kelompok ke kelompok lain, berganti-ganti guru pun aku tak berhasil
menemukanMu… hatiku masih saja resah, lukaku masih saja menganga, semakin
menjalar. Kacau berantakan… Dimana Kau Tuhan? Izinkan aku untuk mengenalMu,
sembuhkanlah aku dari semua keresahan ini… aku sangat tersiksa…
Doa
itu tak pernah berhenti ku ucapkan seiring dengan desus-desus buruk tentangku
ketika aku keluar dari jamaah itu. Di cap liberal, futur (lemahnya iman. istilah ini yang sering digunakan para aktivis dakwah) bahkan sampai aku
kehilangan seorang sahabat…
Sempat
aku berpikir, betapa sadisnya beragama di dunia ini, Tuhan jika beragama lantas
membuatku semakin menderita, semakin menumbuhkan kedengkian maka biarkan aku
tak beragama. Bahkan sahabat yang ku yakini dapat membantu meredam gejolak
jiwaku itu pun pergi hanya karena aku sudah tidak lagi sealiran dengannya...
katanya aku ini sudah sesat, keluar dari jalan kebenaran…
Tuhan…
jika itu kebenaran mengapa hatiku tak menemukan ketentraman? Apakah yang salah dariku?
0 comments
Makasih sudah main, ambil yang baik-baik dari postingan ini, yang jelek tinggal ngopi aja..